KAHLIL Gibran dalam karyanya “Sang Nabi” menyatakan; “Anak Anda bukanlah anak Anda. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan diri sendiri. Meskipun mereka datang melalui Anda, Namun bukan dari Anda, dan meskipun mereka bersama Anda, mereka bukan milik Anda. Anda mungkin memberikan mereka cinta, namun tidak pikiran Anda, karena mereka memiliki pikirannya sendiri. Tubuh mereka mungkin ada di rumah Anda, Namun tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal dalam rumah masa depan yang tidak dapat Anda kunjungi, bahkan tidak dalam mimpi Anda. Anda boleh berusaha menjadi seperti mereka, namun jangan berusaha membuat mereka seperti Anda.Anda adalah busur dari mana anak-anak Anda ditembakkan sebagai anak panah yang hidup. Relakan diri Anda melengkung di tangan pemanah demi kegembiraan”.
Sandy McGregor (2002) dalam bukunya “The Peace of Mind” mengatakan; “tahukah anda bahwa anak berusia 4-5 tahun dapat mempelajari lebih banyak data dan fakta dari pada mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar kesarjanaan?. Karena anak menikmatinya dan sangat senang melakukannya dan tidak stres, sementara mahasiswa menjalani proses pembelajaran tidak menyenangkan”.Paradigma baru pembelajaran menyenangkan menuntut adanya kebebasan pembelajaran karena hanya di alam dan suasana kebebasan tersebut peserta didik dapat mengungkapkan makna sebagai hasil dari interprestasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata.
Jadi, kebebasan adalah unsur yang esensial pembelajaran menyenangkan dan penentu keberhasilan belajar dimana peserta didik adalah subjek yang mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar, serta kontrol belajar dipegang oleh siswa.Sedangkan tujuan pembelajaran yang menyenangkan lebih menekankan pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk berfikir, dan mendemonstrasikannya.Strategi pembelajaran menyenangkan menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian, pembelajaran lebih diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa, aktivitas belajar menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analitis, dan prediktif.
Di dalam cinta dan kasih sayang proses pembelajaran berlangsung dan kebebasan pembelajaran memberikan berbagai kemungkinan. Jika ruang kelas dikelola dengan bijaksana, para muridnya akan mencukupkan diri mereka, mereka belajar dan tidak menyia-nyiakan waktu dengan bertingkah, karena mereka mengasihi guru mereka, maka mereka tidak tertarik untuk meloloskan diri, karena mereka senang belajar, maka mereka temukan petualangan dan perjalanan dalam bahan pelajaran. Walaupun mereka boleh pulang setelah bel berbunyi, mereka tetap tinggal di kelas untuk melanjutkan pembelajaran mereka. Mereka mencukupkan diri untuk belajar dan oleh karenanya tidak putus sekolah.
Nyoman Sudana Degeng (2000) dalam artikelnya berjudul “Guru Baru di Era Indonesia Baru” memperkuat asumsi di atas dengan mengatakan; “Lingkungan belajar yang memberi kebebasan kepada siswa untuk melakukan pilihan memunculkan pembelajaran efektif dan mengembangkan mental produktif. Namun sayangnya, pola dan sistem pendidikan kita masih menganut hukum rimba, indoktrinasi, dan dalam prakteknya masih bernuansa centralistik. Belajar belum menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan.
Belajar yang menyenangkan bagi peserta didik sangat ditentukan oleh mengajar yang menyenangkan pula. Dengan kata lain, rasa senang belajar ditentukan oleh rasa senang mengajar. Oleh karena keberhasilan belajar diawali oleh adanya rasa senang pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Gene E.Hall; Linda F. Quinn; Donna M.Gollnick (2008) dalam bukunya “The Joy of Teaching: Making a Difference in Student Learning” menyatakan bahwa; “guru yang baik pastilah kreatif, bersemangat, dan kerap kali menghibur, membuat proses pembelajaran menyenangkan dengan berbagai kegembiraan. Guru yang kurang berhasil membuat siswa belajar berarti guru tersebut tidak mengerjakan tugasnya sebagai guru”. Jadi, belajar yang menyenangkan bagi peserta didik sangat ditentukan oleh mengajar yang menyenangkan pula. Oleh karena keberhasilan belajar berada ditangan pendidik yang senang mengajar.
Selain adanya kebebasan, pembelajaran menyenangkan dipengaruhi pula oleh implementasi gaya belajar peserta didik secara sempurna. Banyak anak dikeluarkan (droup out) dari sekolah, kemudian diketahui mereka menjadi tokoh termasyhur di dunia, seperti; (1) Winston Churchill mendapat nilai buruk dalam tugas-tugasnya di sekolah, dan gagap dalam berbicara, namun kemudian dia menjadi salah satu pemimpin berpengaruh dan orator ulung pada abad kedua puluh; (2) Albert Einstein suka melamun, gagal dalam pelajaran matematika di awal SMA, namun kemudian dia menjadi ilmuan fisika terbesar pada zamannya; (3) Thomas Alva Edison sering dipukuli di sekolahnya karena suka bingung dan dikenal seorang siswa mengajukan banyak pertanyaan; (4) Guru Beethoven mengatakan bahwa dia komposer yang payah, karena tidak bisa mengali dan membagi; (5) Widrow Wilson salah seorang presiden Amerika Serikat dikenal luas belum bisa membaca sampai berusia sebelas tahun”, dikutip dari Barbara Prashning (2007) dalam bukunya “The Power of Learning Styles”.
Kemudian diketahui hal tersebut di atas terjadi karena gaya belajar (learning style) mereka tidak cocok dengan gaya mengajar guru mereka. Untung saja kesalahan mengajar (malteaching) teratasi karena motivasi belajar, semangat mencapai keberhasilan sendiri, dan bantuan orang yang penuh kasih sayang dan pengertian. Selama hampir tiga abad hingga saat ini, pembelajaran masih kental berpusat pada guru (teacher centries) dimana gaya belajar setiap siswa mengikuti gaya mengajar guru mereka, bukan sebaliknya”.
Kegagalan belajar disebabkan oleh kesalahan gaya mengajar dimana siswa belajar menyesuaikan dengan gaya belajar gurunya. Pembelajaran yang mampu mengembangan potensi diri peserta didik apabila dilakukan berdasarkan gaya belajar peserta didik, dan pendidik melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan gaya belajar peserta didiknya. Penulis menyadari bahwa implementasi pembelajaran berbasis gaya belajar tersebut sangatlah sulit. (Penulis, dosen FKIP Untan)
Sandy McGregor (2002) dalam bukunya “The Peace of Mind” mengatakan; “tahukah anda bahwa anak berusia 4-5 tahun dapat mempelajari lebih banyak data dan fakta dari pada mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar kesarjanaan?. Karena anak menikmatinya dan sangat senang melakukannya dan tidak stres, sementara mahasiswa menjalani proses pembelajaran tidak menyenangkan”.Paradigma baru pembelajaran menyenangkan menuntut adanya kebebasan pembelajaran karena hanya di alam dan suasana kebebasan tersebut peserta didik dapat mengungkapkan makna sebagai hasil dari interprestasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata.
Jadi, kebebasan adalah unsur yang esensial pembelajaran menyenangkan dan penentu keberhasilan belajar dimana peserta didik adalah subjek yang mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar, serta kontrol belajar dipegang oleh siswa.Sedangkan tujuan pembelajaran yang menyenangkan lebih menekankan pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk berfikir, dan mendemonstrasikannya.Strategi pembelajaran menyenangkan menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan ke bagian, pembelajaran lebih diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa, aktivitas belajar menekankan pada ketrampilan berfikir kritis, analitis, dan prediktif.
Di dalam cinta dan kasih sayang proses pembelajaran berlangsung dan kebebasan pembelajaran memberikan berbagai kemungkinan. Jika ruang kelas dikelola dengan bijaksana, para muridnya akan mencukupkan diri mereka, mereka belajar dan tidak menyia-nyiakan waktu dengan bertingkah, karena mereka mengasihi guru mereka, maka mereka tidak tertarik untuk meloloskan diri, karena mereka senang belajar, maka mereka temukan petualangan dan perjalanan dalam bahan pelajaran. Walaupun mereka boleh pulang setelah bel berbunyi, mereka tetap tinggal di kelas untuk melanjutkan pembelajaran mereka. Mereka mencukupkan diri untuk belajar dan oleh karenanya tidak putus sekolah.
Nyoman Sudana Degeng (2000) dalam artikelnya berjudul “Guru Baru di Era Indonesia Baru” memperkuat asumsi di atas dengan mengatakan; “Lingkungan belajar yang memberi kebebasan kepada siswa untuk melakukan pilihan memunculkan pembelajaran efektif dan mengembangkan mental produktif. Namun sayangnya, pola dan sistem pendidikan kita masih menganut hukum rimba, indoktrinasi, dan dalam prakteknya masih bernuansa centralistik. Belajar belum menjadi suatu aktivitas yang menyenangkan.
Belajar yang menyenangkan bagi peserta didik sangat ditentukan oleh mengajar yang menyenangkan pula. Dengan kata lain, rasa senang belajar ditentukan oleh rasa senang mengajar. Oleh karena keberhasilan belajar diawali oleh adanya rasa senang pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Gene E.Hall; Linda F. Quinn; Donna M.Gollnick (2008) dalam bukunya “The Joy of Teaching: Making a Difference in Student Learning” menyatakan bahwa; “guru yang baik pastilah kreatif, bersemangat, dan kerap kali menghibur, membuat proses pembelajaran menyenangkan dengan berbagai kegembiraan. Guru yang kurang berhasil membuat siswa belajar berarti guru tersebut tidak mengerjakan tugasnya sebagai guru”. Jadi, belajar yang menyenangkan bagi peserta didik sangat ditentukan oleh mengajar yang menyenangkan pula. Oleh karena keberhasilan belajar berada ditangan pendidik yang senang mengajar.
Selain adanya kebebasan, pembelajaran menyenangkan dipengaruhi pula oleh implementasi gaya belajar peserta didik secara sempurna. Banyak anak dikeluarkan (droup out) dari sekolah, kemudian diketahui mereka menjadi tokoh termasyhur di dunia, seperti; (1) Winston Churchill mendapat nilai buruk dalam tugas-tugasnya di sekolah, dan gagap dalam berbicara, namun kemudian dia menjadi salah satu pemimpin berpengaruh dan orator ulung pada abad kedua puluh; (2) Albert Einstein suka melamun, gagal dalam pelajaran matematika di awal SMA, namun kemudian dia menjadi ilmuan fisika terbesar pada zamannya; (3) Thomas Alva Edison sering dipukuli di sekolahnya karena suka bingung dan dikenal seorang siswa mengajukan banyak pertanyaan; (4) Guru Beethoven mengatakan bahwa dia komposer yang payah, karena tidak bisa mengali dan membagi; (5) Widrow Wilson salah seorang presiden Amerika Serikat dikenal luas belum bisa membaca sampai berusia sebelas tahun”, dikutip dari Barbara Prashning (2007) dalam bukunya “The Power of Learning Styles”.
Kemudian diketahui hal tersebut di atas terjadi karena gaya belajar (learning style) mereka tidak cocok dengan gaya mengajar guru mereka. Untung saja kesalahan mengajar (malteaching) teratasi karena motivasi belajar, semangat mencapai keberhasilan sendiri, dan bantuan orang yang penuh kasih sayang dan pengertian. Selama hampir tiga abad hingga saat ini, pembelajaran masih kental berpusat pada guru (teacher centries) dimana gaya belajar setiap siswa mengikuti gaya mengajar guru mereka, bukan sebaliknya”.
Kegagalan belajar disebabkan oleh kesalahan gaya mengajar dimana siswa belajar menyesuaikan dengan gaya belajar gurunya. Pembelajaran yang mampu mengembangan potensi diri peserta didik apabila dilakukan berdasarkan gaya belajar peserta didik, dan pendidik melaksanakan proses pembelajaran berdasarkan gaya belajar peserta didiknya. Penulis menyadari bahwa implementasi pembelajaran berbasis gaya belajar tersebut sangatlah sulit. (Penulis, dosen FKIP Untan)
1 komentar:
kunjungan balik sob, terima kasih atas kunjungannya salam kenal sob
beni
Posting Komentar